A review by nverad
Cadas Tanios by Amin Maalouf, Ida Sundari Husen

4.0

Buku ini tidak akan membiarkanmu membacanya dengan tenang. Di setiap kalimatnya ada kisah yang kelihatannya saja sudah selesai. Padahal tidak. Begitu matamu mencapai sebuah titik, kamu akan tahu bahwa setelah itu cerita masih berlanjut, harus berlanjut. Dan kamu tidak akan mau berhenti sampai titik terakhir di halaman terakhir. Walaupun masih ada rasa tak puas karena dalam hati kamu tahu cerita ini belum selesai.

Terjemahan buku ini memang bagus, di samping ceritanya memang mengalir. Pengalaman "menyerah" dengan dua buku Amin Maalouf yang pernah saya coba baca sebelumnya, [b:Balthasar's Odyssey|212936|Balthasar's Odyssey A Novel|Amin Maalouf|http://photo.goodreads.com/books/1172754872s/212936.jpg|2593317] dan [b:Samarkand|334123|The Amulet of Samarkand (Bartimaeus Trilogy, #1)|Jonathan Stroud|http://ecx.images-amazon.com/images/I/51JPMZNAZ9L._SL75_.jpg|1121748], tidak terjadi pada buku yang berlatar pegunungan Libanon pada abad ke-19, kampung asal nenek moyang pengarang berkewarganegaraan Perancis ini. Diceritakan melalui dongeng seorang kakek, warga desa Kfaryabda di pegunungan itu memandang kehidupan Lamia dan Tanios putranya bagaikan legenda.

Selama turun temurun, warga terbiasa menghormati cheikh, kepala desa mereka, sesering apapun cheikh yang sedang berkuasa ini menggoda istri atau anak gadis mereka. Seisi desa larut dalam irama rutin: pagi2 kaum prianya meminta restu cheikh di depan istana, kemudian pergi bekerja, lalu sorenya para pria ini melaporkan rutinitas pagi itu pada istri mereka. Pada hari Minggu mereka melakukan misa di gereja, dan beramah-tamah dengan tetangga.

Dalam lingkungan akrab itu, semua gosip mudah tersebar. Wanita tercantik desa itu, Lamia, dibisik2an mengandung anak sang cheikh, padahal Lamia adalah istri Gerios, sekretaris kepercayaan cheikh sendiri. Tentu Gerios mendengar bisik2 itu, yang makin santer terdengar setelah Tanios, anak itu lahir. Sepanjang hidupnya ia terus menutup kuping dan berusaha keras menjadi ayah terbaik bagi Tanios.

Tanios tumbuh dewasa bersama Raad, anak cheikh dari istrinya. Tanpa berencana, mereka berada di tengah perebutan pengaruh politik Inggris dan Perancis di kawasan Timur Tengah. Kedua negara Eropa itu tak berhadapan langsung, namun menjulurkan kekuasaan mereka lewat gerakan pasukan Ottoman dan Mesir. Ini konstelasi politik yang agak rumit, bahkan buat saya yang mantan mahasiswa HI. Jadi kita akan belajar politik internasional sebentar. Kira2 begini: masa itu Inggris berhasil menekan Ottoman (Turki) yang memegang kepemimpinan dunia Islam, tapi kemunculan wakil Raja Mesir, Mohammad Ali yang ingin berdiri sama tinggi dengan Turki cepat2 didukung oleh Perancis. Tentu Inggris yang masih trauma dengan semangat ekspansionisme Napoleon Bonaparte pada abad sebelumnya langsung pasang kewaspadaan.

Di pedesaan seperti Kfaryabda, berkat pemelukan terhadap agama Katolik, mereka yang tunduk pada tuntunan Gereja Katolik dan titah Emir (tadinya penguasa bawahan Sultan Ottoman), dianggap setia pada Perancis. Sedangkan tanda "kekafiran" dan pengkhianatan dilihat pada tindakan menyekolahkan anak di sekolah yang dibangun pendeta Inggris di desa sebelah, sekolah tempat Tanios belajar dengan bersemangat.

Tak bisa ditolak, berbagai pergolakan terjadi. Jalinan kehidupan cheikh dengan Tanios yang tampak samar dan naik turun, ditingkah dengan perubahan hubungan antara Tanios dan Gerios. Kalau selama ini kita percaya pada mulut penggosip desa, sekarang keraguan meruyak: siapa sebenarnya ayah Tanios? Selama itu Lamia tetap jadi latar belakang. Tidak banyak aksinya, tapi semua kejadian di desa itu dipercaya terbelit dengan nasibnya. Termasuk ketika tentara Mesir menguasai desa, disusul penangkapan atas cheikh, serta kaburnya Gerios dan Tanios ke Cyprus.

Saya tidak menganggap Tanios sudah layak jadi panutan, karena pada sebagian besar hidupnya ia baru bisa mendapat keinginannya dengan ngambek pada orang2 yang menyayanginya. Wajar memang, karena ia disebutkan masih sangat muda, belum 20 tahun saat harapan menyelamatkan muka petinggi politik dunia masa itu disandangkan padanya. Jadi, buku ini bukan semata dongeng kepahlawanan tanpa cela, namun merupakan kisah tentang mereka yang berani melawan. Percayalah, nasib antara mereka yang selama ini berani bilang "tidak" akan lebih dikenang daripada yang hanya diam dan menurut.