Scan barcode
A review by laksaksara
The Shark Caller by Zillah Bethell
5.0
"Menurutku harapan sangatlah penting. Bahkan saat sesuatu tidak nyata, harapanlah yang membuat orang tetap hidup."
Did I finish the book or did it finish me? I didn't sign for the heartbreak it caused me!
The Shark Caller mengisahkan Blue Wing, seorang anak perempuan di Papua Nugini yang sangat ingin mewarisi keahlian Siringen—waspapinya (pengasuh)—dalam memanggil hiu. Keinginannya untuk bisa memanggil hiu adalah demi membalaskan dendam kematian orang tuanya pada salah satu seekor hiu besar yang dijuluki warga sebagai Xok. Namun, Siringen tidak pernah mengizinkannya. Dia selalu menolak permintaan Blue Wing untuk mengajarinya.
Dalam keputusasaannya itu, Blue Wing diminta Siringen untuk berteman dengan Maple Hamelin, anak seorang profesor dari Amerika yang tengah melakukan penelitian di sana. Siringen yang ditunjuk oleh ketua adat mendampingi profesor tersebut.
Blue Wing dan Maple awalnya tidak akur, mereka merasa bahwa mereka sangat berbeda. Tidak pernah sependapat dalam hal apapun. Namun, dengan saran dari Siringen, Blue Wing mencoba untuk perlahan memahami Maple, yang tidak membutuhkan waktu lama juga akhirnya bisa tersenyum ramah kepada Blue Wing. Bonding mereka diawali dengan menjelajah pulau hingga berenang di laut. Dari situlah mereka sadar bahwa mereka memiliki banyak kesamaan.
Aku yakin persahabatan antara Blue Wing dan Maple akan membuat banyak pembaca tersentuh. Sangat tulus khas anak-anak kecil menginjak remaja. Mereka saling mendukung satu sama lain. Hal yang aku suka dari relasi dua bocah ini adalah mereka tidak segan mengungkapkan perbedaan pendapat atau ketidaksetujuan mereka pada satu sama lain. Misalnya, saat Maple berpikir bahwa ayahnya terlalu berpegang pada harapan fana tentang mendiang ibunya, Blue Wing malah 'meladeni' ayah Maple. Karena baginya, biar saja Profesor Hamelin tetap berharap sampai ia membuktikan sendiri bahwa harapannya tersebut bukanlah sesuatu yang nyata.
Dua sahabat kecil ini juga lebih dewasa untuk anak-anak seusia mereka. Mereka lebih bijaksana, mungkin karena berbagai hal yang telah mereka lewati semasa hidup. Meski begitu, Blue Wing dan Maple juga tetap ada momen bertengkar. Namun, keduanya cukup dewasa dan bijak untuk meminta maaf dan mengakui kesalahan setelah membutuhkan waktu untuk mendinginkan kepala. Oh how we wish all adult can act like that!
Selain elemen persahabatan yang kental, penulis juga mengusung unsur mistis lokal sana. Misal, ritual memanggil hiu dan 'dukun' yang bisa menyembuhkan penyakit, pun bisa berbicara dengan arwah manusia. Pun dengan tema berduka. Sejatinya, Blue Wing dan Maple hanyalah dua anak kecil yang mencoba melewati hari demi hari setelah kehilangan orang tua—Blue Wing yang kehilangan kedua orang tuanya dalam waktu bersamaan, dan Maple yang kehilangan mamanya akibat kanker.
Kita juga akan menyaksikan perjalanan mereka menavigasi emosi yang berkecamuk akibat duka itu. Mulai dari kemarahan, rasa bersalah, hingga penerimaan. That thing indeed makes them wiser for their age.
Menuju bagian akhir, siapkan diri kalian. Akan ada hal tak terduga yang terungkap di sana. It's heart-wrenching for me, I weeped like a mad woman. Aku tidak menyangka kalau penulis sebenarnya sudah menebar clue di sana sini. Namun, setelahnya, hatiku dibuat menghangat berkat relasi indah milik Blue Wing dan Maple. Mereka tidak lagi sekadar menganggap satu sama lain sebagai teman, melainkan saudara. Benar-benar dinaikturunkan emosiku.
Buku ini memang diciptakan berisi tokoh anak-anak, tetapi orang dewasa perlu membaca ini juga. Kita tidak hanya disuguhkan persahabatan yang murni dan tulus antarmanusia, tetapi ditunjukkan pula perubahan wilayah yang mulanya masih sangat alami lama-kelamaan dikuasai oleh industri.